Monday, November 1, 2010

Tante Liong Sien : Mesin Penjala Manusia

from : www.maqdalene.net

Pembaca yang dikasihi Tuhan, di bawah ini merupakan kesaksian hidup seorang pahlawan iman bernama Tante Liong Sien asal Solo.

Beberapa Participant yang menerima laporan KCC yang kedua, pasti masih ingat kisah saya mengenai Tante Liong Sien asal Solo yang disebut ayah saya dengan julukan “mesin penjala jiwa”. Ini merupakan kisah lengkapnya. Bulan April kemarin, saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi pembicara pada acara Konggres Departmen Perempuan Nasional yang diadakan di Kaliurang-Jogjakarta. Ternyata Tante Liong Sien menjadi salah satu peserta, dengan senyumnya yang selalu tersungging di bibir, pada saat beliau jalan-jalan di area gedung untuk beli salak buat oleh-oleh keluarganya, saya menyempatkan diri untuk ikutan liat-liat sambil nimbrung bicara, yang berlanjut pada perbincangan panjang. Dari kisah sebelum pernikahannya, sampai punya anak 5, sampai menikahkan semua anaknya dengan iman; bicara tentang penyakitnya, imannya, kesehatannya dan panggilannya. Berikut adalah laporan eksklusif dari reporter Anda, Maqdalene Kawotjo yang disusun secara sistimatis. (Ajuan pertanyaan singkat reporter tertulis dengan tinta berbeda dan dalam kurung):

“Waktu saya mau menikah saya bingung mau kerja apa, tapi saya berdoa kepada Tuhan agar saya tidak terlantar dan bisa membiayai keluarga dan anak-anak saya nanti. (Jadi, Tante sudah kenal Tuhan sejak sebelum nikah?) Saya sudah percaya Tuhan sejak kecil. Jadi Tuhan memberi tahu mengenai AIR. Yang saya tahu akhirnya saya bekerja menjual es balok, itu kan terbuat dari air. Bayangkan, menikah lebih dari 10 tahun saya dipukuli suami terus, tapi setelah itu Tuhan membebaskan saya, Om tidak memukul lagi. Saya bisa menikahkan semua anak saya, padahal cuman jualan es dari warung ke warung menitipkan es balok yang saya potong-potong sendiri (dan saya tahu suaminya cuman duduk-duduk saja di depan rumah setiap harinya, yang kerja banting tulang cuman si isteri, ia setia, selalu doa pagi di gereja sebelum bekerja). Di kampung, kalau ada orang bingung ndak punya uang, saya selalu bersaksi supaya tidak kuatir, ada Tuhan kok bingung. Dengan itu, mereka dikuatkan imannya, dan akhirnya bisa menikahkan anak mereka juga. Dan dari sana, ibu-ibu bersaksi bahwa oleh karena saya menguatkan iman mereka, mereka bisa menikahkan anak-anaknya. Merembet mereka kenal Tuhan, dan satu kampung Bendungan itu semua hasil dari penginjilan saya (benar, jiwa-jiwa diam-diam masuk ke gereja satu persatu karena iman kesaksian Tante gigih yang diam tersebut. Saya bilang bahwa saya nggak sabar liat rumah masa depannya di Sorga, pasti gedhe, duduknya deket Sang Raja, semeja dan dijamu terus di VIP room, dan pasti upahnya seabrek – dia cuman tersenyum, tidak tersirat kesombongan, rendah hati dan mulia hati).

‘Panggilan’ saya ke gereja papi dulu tahun 1976 (menyebut gembalanya di hadapan saya, maksudnya membahasakan kepada saya, karena gembalanya adalah papi saya). Waktu itu saya ada masalah, karena saya mau usaha, saya pinjam uang di bank. Saat itu saya ndak tahu bagaimana pengurusan uang dan mereka minta jaminan sertifikat rumah saya. (Beliau menceritakan secara rinci urusan sertifikat, nama-nama orang yang terkait, dan nilai uang pada waktu itu, 11 truk urug yang dibeli dari bank di jalan tertentu untuk menutup rumahnya yang rendah, juga diingatnya baik-baik – semuanya masih tajam dalam ingatannya, bahkan temennya temen suaminya yang namanya anu saja yang numpang pinjam uang dengan bekal sertifikat dia pun sebutkan nama-namanya, bukan main memorinya nggak ada yang error, puji Tuhan!) Sampai akhirnya saya sedang bingung, saat itu saya mengantar es di daerah Timuran (di daerah rumah ortu kami/gereja lama kami) tiba-tiba sepeda saya berhenti, mogok ndak bisa digenjot. Jadi saya parkirkan dulu, sementara saya masuk ke dalam gereja ikut doa. Dan selesai doa saya minta Om Benny berdoa, dan sejak itu, setiap pagi saya tidak pernah absen berdoa dari jam 5-6. Lalu waktu mertua saya tahu bahwa rumah kami mau disita, dia kaget sampai kena stroke, mulutnya miring, perot. Jadi saya naik sepeda ke papi minta didoakan, dan waktu selesai doa, pada waktu yang bersamaan, mulut mertua saya kembali ke posisi semula. Jadi saya tidak pernah absen doa malam, kebaktian dan ikut semua acara gereja sampai gereja pindah, dan sampai sekarang. (tebak udah berapa tahun!)

Perut saya ini tadinya bertambah besar sekali, semua orang bilang mungkin saya ada kanker atau tumor, mereka suruh saya ke dokter untuk operasi. Tapi saya terus doakan (sambil menepuk keras sekali plek!! setiap cerita mengenai perut, dia pukul baik-baik itu perut seperti tidak disayang, tapi pernyataannya merupakan bentuk doanya, mungkin ada 8-10 kali sampai beliau mengakhiri kisahnya), sambil naik sepeda saya berdoa, kalau saya nganggur saya doa (plek!!), saya jamah dan bilang, aku sembuh, aku tidak sakit, Tuhan Yesus menyembuhkan aku (plek!! wah, diam-diam ibu ini sudah lebih mahir memperkatakan iman dan kata-kata positif dari kebanyakan kita, tho?) Betul-betul saya tidak pernah mau negatif, saya berkati perut saya (plek!!). Kenapa takut, ada Tuhan kok kenapa harus operasi, saya ndak mau. Saya hanya bingung sebab seragam koor saya di bagian perut sudah sesak, saya doa lagi (plek!!), dan 3 hari setelah kematian suami saya, tiba-tiba perut saya melilit, saya ke belakang (maaf), dan keluar darah banyak, seperti serat-serat, selaput, dan tidak sakit sama sekali. Setelah itu kok perut saya kempes, orang-orang yang liat saya terheran-heran. Saya tahu Tuhan mengoperasi perut saya (wah nggak kebayang yang keluar itu apa, kita hanya tahu nanti kalau udah sama-sama mendarat di Sorga, sebab yang turun itu sudah tergelondor ke bawah, kita nggak bisa liat, dokter nggak bisa meneliti, tapi seperti yang dipercayainya bahwa itu merupakan operasinya Tuhan, saya juga percaya bahwa kankernya atau tumor apapun sudah langsung dioperasi zonder jahit, zonder sakit, amin!).

Om Liong Sien meninggal Juli tahun lalu, jadi kami sudah merayakan ulang tahun pernikahan emas tahun 2007, dan dia dipanggil Tuhan hanya satu tahun satu bulan setelah itu. Mami yang mendoakan saat kami syukuran. Sebelum meninggal, Om bilang, “Aku pingin sabar seperti kamu, selalu sukacita tersirat dari wajahmu, ndak pernah mengeluh.” (Bagi saya ini kesaksian hidup istimewa, keluar dari mulut suaminya sendiri sebelum meninggal, walaupun pernyataan keinginannya sudah terlambat, tapi itu ditujukan sebagai kesaksian bagi seorang isteri yang setia dan bijaksana.) Sekarang sejak Om meninggal, anak-anak menyuruh saya menjual rumah, biar saya tinggal sama mereka, atau kontrak rumah yang lebih kecil. Jadi saya minta harga yang tinggi, adatnya disitu semeter perseginya 250 ribu, tapi saya minta lebih, dan betul Tuhan kirim pembeli yang nawar 400 ribu permeter persegi. Lalu uang dibagi 6, dengan anak-anak dan saya dapat bagian rata. Waktu anak bungsu saya lebih dulu keluar dari bank bawa uang di tas plastik berlapis-lapis, tiba-tiba ada 2 orang naik sepeda motor menyerobot tas yang digenggam anak saya. Tapi anak saya terus bertahan pegang itu tas, dan dia terseret sejauh 50 meter lebih. Waktu saya keluar dari bank dan melihat anak saya, saya langsung berteriak: “Tuhan Yesus, tolong anak saya dicopettttt!!” sepertinya suara saya diperbesar miliaran kali, seperti khotbah papi 3 minggu lalu mengenai 4 orang kusta yang langkahnya diperbesar volumenya sehingga membuat takut tentara Aram (wah, saya jadi semakin kagum, karena beliau ingat dengan baik menyebut “tentara Aram” pada khotbah 3 minggu lalu sebelum peristiwa, padahal beliau kalau denger khotbah hampir nggak pernah nggak ngantuk, karena kecapaian ngirim es balok tiap hari berkilo-kilo dan berkilo-kilo meter. Bahkan pas nyanyi koor di depan saja sering ngantuk, duduk di kursi beberapa kali Alkitab atau bolpennya jatuh, tapi kalau ditanya khotbahnya apa, dia jawab baik-baik isinya. Nggak tahu punya indera ke berapa!) Setelah volume suara saya diperbesar Tuhan, semua orang kampung tiba-tiba keluar, orang-orang di toko sekitar itu keluar dan sama-sama teriak COPETTTT, dan copetnya menoleh lalu melepaskan tas yang masih dipegang anak saya. Anak saya jaketnya robek, tulang tanggannya dekat pundak meleset dan harus pakai penyangga. Tapi puji Tuhan, bayangkan itu uang bagian kami, 2 orang, kalau sampai hilang gimana. Jadi, karena saya masih gemetaran, saya telepon mami (ibu saya) untuk datang dan ambil perpuluhannya, karena saya masih takut keluar rumah dengan bawa uang.

Dengan uang hasil jual rumah, saya pakai untuk ikut retreat seperti ini, kalau ada acara gereja saya sengaja ikut. (Menikmati hidup di hari tua ceritanya). Saya juga check up ke dokter, karena kok kalau naik tangga di rumah anak saya saya harus berhenti ngos-ngosan. Dulu saya dibilang sakit jantung, jantung lemah. Tapi setelah saya periksa kali ini dokter bilang katanya saya kurang darah, bukan sakit jantung, tapi karena darah kurang, jadi darah tidak bisa naik memompa ke jantung untuk memacu, jadi jantungnya lemah, tapi bukan sakit jantung. Mungkin karena darahnya hilang banyak waktu operasi Tuhan Yesus dulu itu (Ooo iya juga, saya pikir!). Anehnya, satpam di rumah sakit Dr.Oen bersedia menyumbangkan darahnya, dan dokter disitu juga kebetulan darahnya A sama saya, jadi masing-masing memberi 1 liter, saya dapet 2 liter tanpa cari, dan sehat. Ada beberapa dokter yang sebenarnya mau donor, dan mereka bilang lain kali kalau butuh, mereka siap. Puji Tuhan, Tuhan langsung sediakan orang-orang yang hatinya siap membantu saya. Tuhan baik.

Sekarang saya bisa naik turun tangga bebas, tidak ada keluhan. Saya juga bantu jaga toko kelontong punya anak bungsu saya, jadi yang saya liat ndak ada dijual, saya beli lalu saya titip jual. Untungnya bisa buat beli hadiah cucu-cucu saya yang sudah ada 9. Saya beli garam, kadang 10 kg, juga telur 15 kilo, saya bawa naik sepeda dari Warung Miri ke Solo Baru (my my my… itu jauh sekali, naik mobil aja kalau agak padat hampir 15 menit, apalagi naik sepeda! Dan itu dilakukannya setiap hari, pp, makanya lebih sehat dari kita yang suka cari parkir terdekat dan males olah raga sepeda!) Anak saya sudah ndak boleh saya naik sepeda jauh-jauh, jadi sekarang hanya yang dekat saja. (yang dekat aja jauh, apalagi yang jauh, pasti ndak dekat!).

(Saya tanya: “Tante bisa lihat jarak jauh dekat dengan baik?”)Ya, saya zonder kacamata! Penglihatan baik, saya umur 72 tahun. (Lalu saya minta didoain, yang disambutnya dengan narik suara nyanyi TAK TERSEMBUNYI KUASA ALLAH, KALAU LAIN DITOLONG SAYA JUGA, TANGANNYA TERBUKA MENUNGGULAH, TAK TERSEMBUNYI KUASA ALLAH. Lalu beliau doa dengan fasih, mendoakan visi-visi saya ke depan, dan beliau menyebut salah satu visi, yaitu membangun gedung KCC, walaupun tidak disebutkan dengan pas, tapi saya heran bahwa dia mengikuti semua sesi dengan daya ingatan tinggi. Dia juga mendoakan kesehatan saya untuk menunjang pelayanan yang masih panjang. Saya terharu, bersyukur melihat pahlawan iman seperti Tante Liong Sien, yang masih sama seperti puluhan tahun lalu, cintanya kepada Tuhan, imannya terhadap Tuhan, kesaksian hidupnya, penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Ah, kalau saya besar, saya bercita-cita ingin seperti Tante Liong Sien).
Sesudah berdoa, saya persilakan beliau untuk kembali ke kamarnya, supaya istirahat siang, yang dijawabnya: “Saya ndak pernah tidur siang, kamu saja kembali ke kamarmu, istirahat.” Dan kami berpisah, saya bersyukur punya seorang teladan hidup setelah nenek saya meninggal. Tante Liong Sien, pahlawan iman, mesin penjala jiwa dari Solo, 72 tahun, ibu 5 anak, nenek 9 cucu, 100% sehat waalfiat, tetap melayani Tuhan dan masih menjala jiwa dengan naik sepeda ontel kuno, tetap doa pagi dari jam 5-6, doa malam, koor, kebaktian kaum wanita, umum, kelompok sel.

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright © . Ingatan Dunia akan Apa yang Telah Dunia Alami - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger